Ku
langkahkan kakiku memasuki cafe yang menjadi tempat hang outku dengan
teman-temanku seperti biasa. Terasa pandangan semua laki-laki di cafe ini
tertuju padaku. Aku sudah terbiasa dengan pandangan mereka terhadapku. Seakan
aku adalah mangsa yang siap mereka lahap. Kuedarkan pandanganku ke seluruh isi
cafe ini, setelah menemukan meja yang di tempati sahabat-sahabatku yaitu Amel,
Alexa dan Sandra ku lambaikan tanganku kearah mereka agar mereka mengetahui
kedatanganku karena suasana cafe di hari minggu ini sangatlah ramai.
“Hey Guys!! Sorry telat.” Sapaku dengan
senyuman tanpa dosa.
“Saby….
akhirnya lo datang juga. Lama tahu nungguin lo.” Sapa Amel di tambah keluhannya
karena keterlambatanku. Aku hanya menanggapinya dengan cengiran.
“Udahlah
Mel lo tahu sendiri kan kalau Saby dandannya lama.” Bela Alexa untuk ku.
Aku
memilih duduk di depan Sandra yang diam tidak menanggapi ucapan Amel tadi.
Kulihat meja yang aku dan sahabat-sahabatku tempati. Hanya ada minuman disana.
“Eh
guys gak pesan makanan?” tanyaku pada mereka.
“Gue
lagi diet.” Kata Amel dengan cengirannya.
“Mel
kenapa sih lo masih diet. Badan lo tuh dah kurus jangan tambah di kurusin
lagi.” Kataku menasehati. Yang dinasehati hanya santai-santai saja menyeruput
jus jerunya.
“Ya
sudah deh kalau pada gak mau makan. Gue mesen minuman saja.” Kataku lalu
memanggil pelayan dan menyebutkan pesananku. Sambil menunggu pesananku datang,
aku hanya ngobrol mace-macem sama sabatku. Entah itu jaman SMA yang suka
bandel, tentang percintaan dan lain-lain. Obrolanku terpotong ketika pelayan
datang membawa pesananku.
TING…
Bel
berbunyi di atas pintu masuk cafe tanda ada pelanggan yang masuk. Aku yang
membelakangi pintu masuk tak berminat untuk menolehkan kepalaku hanya untuk
sekedar melihat siapa pelanggan itu sampai Sandra meyuruhku untuk melihatnya.
“Eh
By lihat tuh cowok ganteng banget. Sayang sama wanita, mungkin ceweknya yah?”
Kata Sandra yang awalnya semangat menjadi lesu tak bersemangat.
“Tapi
kalau menurut gue yang cewek itu bukan ceweknya deh. Kayak lebih tua ceweknya.
Mungkin kakaknya.” Kata Alexa sok tahu.
“Iya
bener Lex.” Amel ikut menimpali.
Aku
pun mengikuti arah pandang mereka dan menrutku apa yang mereka katakana benar.
Terlihat cowok tampan itu masuk di gandeng cewek yang menurutku lebih tua dari cowok
itu. Mereka menduduki salah satu meja,. Tampak cewek itu dengan hati-hati
mendudukkan si cowok dengan hati-hati seakan-akan si cowok itu tak dapat
melihat.
“Duh
dia ganteng banget. Coba deketin ah.” Kataku penuh percaya diri. Karena
biasanya tidak ada yang pernah menolak pesonaku. Dengan wajah cantik, pakaian
modis dan tubuhku yang proporsional tak akan ada yang bisa menolaknya.
“Semangat
By. Semoga berhasil.” Kata
sahabat-sahabatku berbarengan.
“Sip
dah.” Kataku mengacungkan jempol.
Kulihat
si cewek meninggalkan si cowok sendirian entah kemana. Ini kesempatanku untuk
mendekatinya. Ku perbaiki dandananku agar terlihat rapi di depannya. Setelah
kupastikan penampilanku rapi, ku langgkahkan kakiku penuh percaya diri menuju
mejanya. Ku angkat daguku tinggi-tinggi. Untung aku memakai heels 12 cm
jadi kepercaya dirianku makin tinggi. Setelah sampai di mejanya aku meminta
izin untuk duduk terlebih dahulu.
“Ehem…
permisi boleh gue duduk disini?” Tanyaku harap-harap cemas.
Ia
masih sibuk menyeruput kopinya ketika aku bertanya. Ia pun meletakkan kopinya
dan memandang mungkin kearahku, aku tak bisa menebaknya karena matanya
terhalangi kacamata hitam yang di pakainya.
“Tentu
saja silahkan.” Jawabnya yang membuatku bernafas lega.
Aku
pun duduk di depannya dengan anggun berharap ia terpesona akan diriku. Ia masih
saja diam ketika aku duduk di depannya. Mungkin ia tak berniat untuk memulai
percakapan , akhirnya aku memperkenalkan diriku terlebih dahulu.
“Hai
nama gue Sabyla bisa di panggil Saby. Nama lo siapa?” Tanyaku setelah
memperkenalkan diri.
“Lo
bisa manggil gue Revan.” Ucapnya menjawab pertanyaanku.
Karena
aku yang tidak suka dengan yang namanya basa-basi akhirnya ku lontarkan
pertanyaan yang menjadi tujuanku disini.
“Menurut
lo gue gimana?” Tanyaku to the point.
Ia tampak terkejut atau lebih tepatnya bingung
dengan pertanyaanku itu. Kurasa dia tidak akan menjawab setelah lenbih kurang 3
menit dari pertanyaan yang ku lontarkan.
“Yang ku lihat tidak ada, hanya kegelapan tanpa
sinar.” Jawabannya yang membuatku terkejut setengah hidup eh maksudku mati.
Apa-apaan dia maksudnya aku gelap, gak ada masa depan cerah gitu.
Kurang ajar sekali dia. Dia laki-laki pertama yang tidak memujiku malah
kebalikannya. Aiiish menyebalkan. Kataku
dalam hati.
“Apa? Maksud lo apa? Gue gelap gak ada sinar. Kalau
maksud lo gue jelek bilang aja gak usah gitu.” Kataku dan langsung pergi dari
hadapannya.
Aku menuju mejaku sebelumnya dan mendapati tatapan
sahabat-sahabatku yang mengkhawatirkanku. Aku berusaha tersenyum di depan
mereka, meski senyumku pasti terlihat aneh karena di paksakan.
“It’s okay guys. Gue balik dulu ada tugas
kampus belum di kerjain.” Kataku bohong.
Sebelum mereka merespon aku langsung keluar pergi
dari cafe itu. Aku gk mau mengeluarkan air mata di depan mereka. Telah cukup
aku membebani mereka dulu dan aku tidak mau itu terjadi lagi.
Aku langsung memasuki mobilku dan menancap gas
membelah jalan ibu kota Jakarta yang terlihat lengang saat ini. Akhirnya air
mataku tak bisa di bendung lagi. Air mataku jatuh bak aliran sungai melewati
pipiku yang tak mulus lagi sejak kecelakaan itu.
Aku tak bisa menyalahkan kecelakaan itu terus yang
menyebabkan luka yang kini masih berbekas di pipiku. Inilah sebabnya aku selalu
menghabiskan waktu cukup lama dalam berdandan agar dapat menutupi bekas lukaku
itu. Agar laki-laki yang melihatku tidak jijik dan kabur.
***
Aku
tak tahu apakah aku telah menyakiti hatinya, tapi dari suara bentakannya padaku
sepertinya benar aku telah menyakitinya. Ia mungkin tak menyadarinya kalau aku
tak dapat melihat, jadi yang ku katakan hanya kegelapan. Ya sejak kecelakaan
dua tahun yang lalu aku kehilangan penglihatanku dan juga kedua orang tuaku.
Awalnya aku sangat benci pada diriku yang lemah ini tapi lama-kelamaan aku
dapat menerimanya. Dan kini aku menunggu donor mata untukku.
“Van
tadi siapa cewek yang datengin lo?” Tanya Kakakku yang mengejutkanku dengan
kedatangannya yang tiba-tiba.
“Baru
kenal barusan Kak. Namanya Saby.” Kataku.
“Kayaknya
kamu senang ya bisa ngobrol sama dia.” Ucap Kakakku.
“Apaan
sih Kak. Barusan kenal juga.”
“Ya
sudah ayo pulang.” Ajak Kakakku.
Aku
pun mengikuti Kakakku yang menuntunku menuju pintu yang tadi ku masuki. Kakak
mengantarkanku ke rumah yang dulu ku tempati bersama orang tuaku. Tapi sekarang
aku hanya tinggal sendiri. Kakakku telah menikah dengan seorang dokter yang ku
panggil Kak Sandy yang juga merupakan penanggung jawab atas pendonor untuk
mataku. Karena ini rumah yang ku tinggali sejak sebelum aku kehilangan
penglihatanku, aku sudah hafal letak semua peralatan disini. Karena memang
Kakakku tidak mengubahnya untuk memudahkanku dalam bergerak.
Ku
langkahkan kakiku menuju kamarku dan kurebahkan badanku di atas kasurku. Masih
teringat suara cewek itu di kepalaku. Aku penasaran seperti apa rupanya. Tapi
dari suaranya yang lembut, pasti cewek itu sangat cantik. Karena sibuk memikirkannya,
mataku berat dan tak bisa di cegah aku pun tertidur.
***
Sinar
matahari yang masuk melewati tirai jendelaku mengusik mataku sehinggan aku
bangu dari tidurku. Untung sekarang gak ada jadwal kampus jadi aku bisa
malas-malasan di rumah. Ku langkahkan kakiku menuju kamar mandi. Ku pandangi
wajahku di depan cermin. Mata bengkak, hidung merah, rambut berantakan kbak
sarang nyamuk. Mengerikan sekali rupaku disana. Ini akibat menangis semalaman.
Ku
putuskan mandi untuk menghilangkan bekas tangisku. Setelah menyelesaikan ritual
mandiku, aku menggunakan kemeja dan celana jeansku. Tak lupa ku poleskan
make up di wajahku. Setelah siap
dengan semuanya, aku memasuki mobilku dan menjalankan mobilku menuju cafe.
Tak
butuh waktu lama untuk sampai di sana. Seperti biasa saat memasuki cafe
pandangan semua laki-laki tertuju padaku. Aku pun memilih duduk di tempat
faforitku yaitu di pinggir jendela. Karena aku bisa melihat orang yang
berlalu-lalang sibuk dengan urusannya masing-masing.
Ku
alihkan pandanganku ke seluruh penjuru cafe saat ku lihat cowok kemarin yang menyebalkan
duduk sendiri di tempat yang sama seperti kemarin. Ia tampak sibuk dengan
pikirannya dan tak peduli banyak wanita yang memandangnya terpesona akan
ketampanannya. Aku masih penasaran dengan apa arti cowok itu mengatakan aku
gelap. Akhirnya aku menghampirinya.
“Hey
maaf ya tentang kemarin.” Kataku.
“Mungkin
kemarin gua lagi Bad mood jadi gitu ke lu.” Lanjutku saat ia tak
bersuara.
“Kayaknya
gua yang harus minta maaf.” Katanya.
“Dari
pada ribut jadi kita sama-sama memaafkan.” Kataku dengan cengiran.
Aku
tak dapat membaca matanya karena terhalangi kaca mata yang di pakainya. Aku
bertanya-tanya kenapa ia selalu memakai kaca mata hitam di dalam ruangan.
“Eh
tapi kenapa kemarin kamu bilang gue gelap sih?” Tanyaku penasaran saat tidak
ada topik pembicaraan yang dapat ku angkat.
Ia
tampak tersenyum tipis sekali sampai-sampai seperti tidak tersenyum.
“Gue
sebenarnya tidak dapat melihat. Jadi gue bilang lo gelap.” Jawabnya yang
membuatku bingung.
“Gak
bisa lihat? Maksudnya buta?” Tanyaku hati-hati.
“Iya.”
Jawabnya singkat.
Aku
terkejut mendengar ini. Muluktku menganga tak percaya. Tak kusangka kalau dia
buta. Cowok seganteng dia? Bagaimana bisa? Tapi di balik rasa sedih yang
kualami karena mengetahui bahwa dia buta, aku juga merasa senang karena ia
tidak dapat melihat rupaku yang jelek ini. Jadi aku tidak perlu berdandan
lama-lama agar tampil cantik karena dia tidak akan melihatnya.
“Ya
sudah kalau gitu aku temenin ya?” Pintaku.
“It’s
okay.”
Akhirnya
hari itu ku habiskan menemaninya di cafe. Sampai akhirnya hari sudah mulai sore
dan ini waktunya untuk pulang.
“Lo
kesini naik apa?” Tanyaku.
“Tadi
kesini sama kakak gue. Tapi dia pulang duluan karena ada urusan.” Katanya. Oh
jadi benar cewek kemarin itu kakakknya. Ada rasa senang saat mengetahui itu.
“Terus
pulangnya gimana?” tanyaku.
“Naik
taksi mungkin.” Jawabnya.
“Gue
anter ya!”
“Gak
usah gak papa.” Tolaknya.
“Gak
nerima penolakan.” Kataku langsung menuntunnya ke dalam mobilku.
“Alamatnya
dimana?” Tanyaku.
Setelah
ia menyebutkan alamatnya, ku jalankan mobilku menuju alamat itu. Sesampainya
disana ku parkirkan mobilku dan membantunya turun. Ia mengambil kunci di
kantongnya dan menyuruhku untuk membukakan pintu.
“Sudah
sampai disini saja.” Katanya. Aku pun melepaskan tanganku di lengannya.
“Gue
gak di suruh masuk?” Tanyaku.
“Emangnya
lo pengen masuk?” Tanyanya.
“Ya
gak papa kan.”
“Ya
sudah ayo masuk.”
Aku
pun memasuki rumahnya. Rumahnya minimalis tapi terlihat elegan. Ada dua lantai
di sini. Aku mengikutinya ke ruang tamu. Ternyata dia sudah hafal tempatnya.
“Kalau
mau minum ambil sendiri.” Katanya.
“Ok.
Eh lo tinggal sendiri?” Tanyaku.
“Iya.
Orang tua gue dah meninggal. Jadi gue sendiri deh.” Jawabnya mengejutkanku.
“Gak
bosen sendirian?” Tanyaku lagi.
“Awalnya
sih bosen tapi sekarang dah enggak.”
Sore
hari itu pun ku habiskan untuk menemaninya sekedar mengobrol sampai larut malam
dan aku pun pulang ke apartemenku.
***
Sejak
hari itu aku mulai sering mengunjungi rumahnya. Sampai aku bolos kuliah.
Entahlah aku rasa aku mulai menyukainya. Dengannya aku bisa menjadi diriku
sendiri tanpa menutup-nutupi diriku.
Sampai
suatu hari saat aku menemaninya jalan-jalan ia meyatakan perasaannya padaku.
Aku sangat senang mendengarnya tak kusangka perasaaku terbalas. Aku pun
mengucapkan hal yang sama padanya bahwa aku juga mencintainya. Aku mengubah
gaya bicara kita menjadi aku-kamuHari itu diakhiri dengan menikmati terbenamnya
matahari di pantai sebagai peresmian hubunganku dengannya.
***
Hari
ini seperti biasa aku akan jalan-jalan dengan Revan. Entahlah aku tak pernah
bosan dengannya. Aku turun dari kasur dan mempersiapkan diri untuk pergi
menemuinya. Ia tampak tampan dengan kaos polo yang dipakainya. Betapa aku
sangat mensyukuri memilikinya di sampingku.
“Sekarang
kita mau kemana?” Tanyaku.
“Sebelum
kita jalan-jalan aku mau ngomomg sesuatu sama kamu.” Ucapnya yang membuatku
penasaran setengah hidup.
“Apa?
Ayo katakan!” Pintaku bersemangat. Ia tersenyum mendengar semangatku ini.
“Kak
Sandy sudah menemukan pendonor mata yang cocok untukku.” Kata dengan senyuman.
Berbanding terbalik denganku yang tiba-tiba senyumku memudar ketika
mendengarnya. Aku tak tahu aku harus bahagia atau sedih. Aku bahagia dia dapat
melihat dunia lagi. Tapi ada kekhawatiran di hatiku saat dia sudah dapat
melihat dia akan meninggalkanku karena rupaku. Aku hanya menanggapinya biasa.
“Wah
bagus dong.” Kataku.
“Aku
pengen nanti yang aku lihat pertama kali itu kamu.” Hatiku menghangat saat ia mengatakn
itu.
Sepulang
acara jalanku dengan Revan aku mengurung diriku di kamar. Merenung memikirkan
tindakan apa yang harus aku lakukan. Aku tak mau Revan meninggalkanku. Aku mau
dia tetap disisiku. Lebih baik aku yang meninggalkannya dari pada aku yang di
tinggalkan. Akhirnya aku memutuskan sesuatu yamg mingkin akan menyakiti kita
berdua.
Ya
aku harus meninggalkannya. Yakinku dalam hati.
***
Hari
ini hari dimana Revan operasi. Seharusnya aku berada di sampingnya. Melihat ia
membuka matanya. Melihat ia yang akhirnya dapat melihat. Menjadi orang pertama
yang di lihatnya. Tapi aku tak siap saat ia akan meninggalkanku ketika ia
melihatku. Aku memilih menjadi pecundang mengurung diriku di kamar tampa ada
secercah matahari yang memasuki kamarku.
Aku bahkan tak tahu lebih tepatnya tidak
peduli akan keadaanku. Aku tak bernafsu untuk memasukkan sesuatu ke mulutku.
Yang ku lakukan hanya menangis tersedu di balik selimut ini sampai akhirnya aku
tertidur.
***
Hari
ini aku sangat bahagia karena aku dapat melihat indahnya dunia lagi. Tapi
kebahagian itu sirna ketika aku tak mendapati gadisku yang seharusnya ada di
sampingku. Dia yang seharusnya ku lihat pertama kali. Tapi kenyataannya dia tak
ada.
Keesokan
harinya aku pun pergi ke apartemennya. Aku tahu dia ada di dalam jadi aku
tunggu dia membuka pintu untukku.
“Saby
buka pintunya!”
“Apa
yang kamu lakukan disini?”
“Aku
sedih saat mengetahui kamu tidak ada di sampingku. Aku tak peduli dengan rupamu
jika itu yang kau takutkan.”
***
Aku tak percaya ia ada di sini di depan pintu
apartemenku. Aku terharu ia meluangkan waktu berharganya hanya untuk menemuiku.
Aku tak berani membukakan pintu untukmnya meskipun ia sudah menyuruhku.
Setelah
berdebat antara hatiku dengan otakku . hati lah pemenangnya. Aku tak mau dia
meninggalkanku. Akhirnya aku membukakan pintu untuknya. Ia langsung menubrukku
memeluk badanku.
“Jangan
penah meninggalkanku Saby. Aku gak tahu kalau kamu tidak ada di sampingku. Aku
gak tahu gimana hidupku tanpamu. Jadi jangan pernah pergi lagi dariku.”
Aku
semakin mengeratkan pelukanku padanya saat ia mengatakan hal itu. Ternyata aku
salah menilainya. Kukira ia akan meninggalkanku saat melihatku. Tapi nyatanya
tidak. Aku sangat bersyukur memilikinya.
“I
love you By.”
“I
love you too.”
TAMAT