Minggu, 24 Mei 2015

Apa Adanya

Ku langkahkan kakiku memasuki cafe yang menjadi tempat hang outku dengan teman-temanku seperti biasa. Terasa pandangan semua laki-laki di cafe ini tertuju padaku. Aku sudah terbiasa dengan pandangan mereka terhadapku. Seakan aku adalah mangsa yang siap mereka lahap. Kuedarkan pandanganku ke seluruh isi cafe ini, setelah menemukan meja yang di tempati sahabat-sahabatku yaitu Amel, Alexa dan Sandra ku lambaikan tanganku kearah mereka agar mereka mengetahui kedatanganku karena suasana cafe di hari minggu ini sangatlah ramai.
            “Hey Guys!! Sorry telat.” Sapaku dengan senyuman tanpa dosa.
            “Saby…. akhirnya lo datang juga. Lama tahu nungguin lo.” Sapa Amel di tambah keluhannya karena keterlambatanku. Aku hanya menanggapinya dengan cengiran.
            “Udahlah Mel lo tahu sendiri kan kalau Saby dandannya lama.” Bela Alexa untuk ku.
            Aku memilih duduk di depan Sandra yang diam tidak menanggapi ucapan Amel tadi. Kulihat meja yang aku dan sahabat-sahabatku tempati. Hanya ada minuman disana.
            “Eh guys gak pesan makanan?” tanyaku pada mereka.
            “Gue lagi diet.” Kata Amel dengan cengirannya.
            “Mel kenapa sih lo masih diet. Badan lo tuh dah kurus jangan tambah di kurusin lagi.” Kataku menasehati. Yang dinasehati hanya santai-santai saja menyeruput jus jerunya.
            “Ya sudah deh kalau pada gak mau makan. Gue mesen minuman saja.” Kataku lalu memanggil pelayan dan menyebutkan pesananku. Sambil menunggu pesananku datang, aku hanya ngobrol mace-macem sama sabatku. Entah itu jaman SMA yang suka bandel, tentang percintaan dan lain-lain. Obrolanku terpotong ketika pelayan datang membawa pesananku.
            TING…
            Bel berbunyi di atas pintu masuk cafe tanda ada pelanggan yang masuk. Aku yang membelakangi pintu masuk tak berminat untuk menolehkan kepalaku hanya untuk sekedar melihat siapa pelanggan itu sampai Sandra meyuruhku untuk melihatnya.
            “Eh By lihat tuh cowok ganteng banget. Sayang sama wanita, mungkin ceweknya yah?” Kata Sandra yang awalnya semangat menjadi lesu tak bersemangat.
            “Tapi kalau menurut gue yang cewek itu bukan ceweknya deh. Kayak lebih tua ceweknya. Mungkin kakaknya.” Kata Alexa sok tahu.
            “Iya bener Lex.” Amel ikut menimpali.
            Aku pun mengikuti arah pandang mereka dan menrutku apa yang mereka katakana benar. Terlihat cowok tampan itu masuk di gandeng cewek yang menurutku lebih tua dari cowok itu. Mereka menduduki salah satu meja,. Tampak cewek itu dengan hati-hati mendudukkan si cowok dengan hati-hati seakan-akan si cowok itu tak dapat melihat.
            “Duh dia ganteng banget. Coba deketin ah.” Kataku penuh percaya diri. Karena biasanya tidak ada yang pernah menolak pesonaku. Dengan wajah cantik, pakaian modis dan tubuhku yang proporsional tak akan ada yang bisa menolaknya.
            “Semangat By. Semoga berhasil.” Kata  sahabat-sahabatku berbarengan.
            “Sip dah.” Kataku mengacungkan jempol.
            Kulihat si cewek meninggalkan si cowok sendirian entah kemana. Ini kesempatanku untuk mendekatinya. Ku perbaiki dandananku agar terlihat rapi di depannya. Setelah kupastikan penampilanku rapi, ku langgkahkan kakiku penuh percaya diri menuju mejanya. Ku angkat daguku tinggi-tinggi. Untung aku memakai heels 12 cm jadi kepercaya dirianku makin tinggi. Setelah sampai di mejanya aku meminta izin untuk duduk terlebih dahulu.
            “Ehem… permisi boleh gue duduk disini?” Tanyaku harap-harap cemas.
            Ia masih sibuk menyeruput kopinya ketika aku bertanya. Ia pun meletakkan kopinya dan memandang mungkin kearahku, aku tak bisa menebaknya karena matanya terhalangi kacamata hitam yang di pakainya.
            “Tentu saja silahkan.” Jawabnya yang membuatku bernafas lega.
            Aku pun duduk di depannya dengan anggun berharap ia terpesona akan diriku. Ia masih saja diam ketika aku duduk di depannya. Mungkin ia tak berniat untuk memulai percakapan , akhirnya aku memperkenalkan diriku terlebih dahulu.
            “Hai nama gue Sabyla bisa di panggil Saby. Nama lo siapa?” Tanyaku setelah memperkenalkan diri.
            “Lo bisa manggil gue Revan.” Ucapnya menjawab pertanyaanku.
            Karena aku yang tidak suka dengan yang namanya basa-basi akhirnya ku lontarkan pertanyaan yang menjadi tujuanku disini.
            “Menurut lo gue gimana?” Tanyaku to the point.
Ia tampak terkejut atau lebih tepatnya bingung dengan pertanyaanku itu. Kurasa dia tidak akan menjawab setelah lenbih kurang 3 menit dari pertanyaan yang ku lontarkan.
“Yang ku lihat tidak ada, hanya kegelapan tanpa sinar.” Jawabannya yang membuatku terkejut setengah hidup eh maksudku mati.
Apa-apaan dia maksudnya aku gelap, gak ada masa depan cerah gitu. Kurang ajar sekali dia. Dia laki-laki pertama yang tidak memujiku malah kebalikannya. Aiiish menyebalkan. Kataku dalam hati.
“Apa? Maksud lo apa? Gue gelap gak ada sinar. Kalau maksud lo gue jelek bilang aja gak usah gitu.” Kataku dan langsung pergi dari hadapannya.
Aku menuju mejaku sebelumnya dan mendapati tatapan sahabat-sahabatku yang mengkhawatirkanku. Aku berusaha tersenyum di depan mereka, meski senyumku pasti terlihat aneh karena di paksakan.
It’s okay guys. Gue balik dulu ada tugas kampus belum di kerjain.” Kataku bohong.
Sebelum mereka merespon aku langsung keluar pergi dari cafe itu. Aku gk mau mengeluarkan air mata di depan mereka. Telah cukup aku membebani mereka dulu dan aku tidak mau itu terjadi lagi.
Aku langsung memasuki mobilku dan menancap gas membelah jalan ibu kota Jakarta yang terlihat lengang saat ini. Akhirnya air mataku tak bisa di bendung lagi. Air mataku jatuh bak aliran sungai melewati pipiku yang tak mulus lagi sejak kecelakaan itu.
Aku tak bisa menyalahkan kecelakaan itu terus yang menyebabkan luka yang kini masih berbekas di pipiku. Inilah sebabnya aku selalu menghabiskan waktu cukup lama dalam berdandan agar dapat menutupi bekas lukaku itu. Agar laki-laki yang melihatku tidak jijik dan kabur.
***
            Aku tak tahu apakah aku telah menyakiti hatinya, tapi dari suara bentakannya padaku sepertinya benar aku telah menyakitinya. Ia mungkin tak menyadarinya kalau aku tak dapat melihat, jadi yang ku katakan hanya kegelapan. Ya sejak kecelakaan dua tahun yang lalu aku kehilangan penglihatanku dan juga kedua orang tuaku. Awalnya aku sangat benci pada diriku yang lemah ini tapi lama-kelamaan aku dapat menerimanya. Dan kini aku menunggu donor mata untukku.
            “Van tadi siapa cewek yang datengin lo?” Tanya Kakakku yang mengejutkanku dengan kedatangannya yang tiba-tiba.
            “Baru kenal barusan Kak. Namanya Saby.” Kataku.
            “Kayaknya kamu senang ya bisa ngobrol sama dia.” Ucap Kakakku.
            “Apaan sih Kak. Barusan kenal juga.”
            “Ya sudah ayo pulang.” Ajak Kakakku.
            Aku pun mengikuti Kakakku yang menuntunku menuju pintu yang tadi ku masuki. Kakak mengantarkanku ke rumah yang dulu ku tempati bersama orang tuaku. Tapi sekarang aku hanya tinggal sendiri. Kakakku telah menikah dengan seorang dokter yang ku panggil Kak Sandy yang juga merupakan penanggung jawab atas pendonor untuk mataku. Karena ini rumah yang ku tinggali sejak sebelum aku kehilangan penglihatanku, aku sudah hafal letak semua peralatan disini. Karena memang Kakakku tidak mengubahnya untuk memudahkanku dalam bergerak.
            Ku langkahkan kakiku menuju kamarku dan kurebahkan badanku di atas kasurku. Masih teringat suara cewek itu di kepalaku. Aku penasaran seperti apa rupanya. Tapi dari suaranya yang lembut, pasti cewek itu sangat cantik. Karena sibuk memikirkannya, mataku berat dan tak bisa di cegah aku pun tertidur.
***
            Sinar matahari yang masuk melewati tirai jendelaku mengusik mataku sehinggan aku bangu dari tidurku. Untung sekarang gak ada jadwal kampus jadi aku bisa malas-malasan di rumah. Ku langkahkan kakiku menuju kamar mandi. Ku pandangi wajahku di depan cermin. Mata bengkak, hidung merah, rambut berantakan kbak sarang nyamuk. Mengerikan sekali rupaku disana. Ini akibat menangis semalaman.
            Ku putuskan mandi untuk menghilangkan bekas tangisku. Setelah menyelesaikan ritual mandiku, aku menggunakan kemeja dan celana jeansku. Tak lupa ku poleskan  make up di wajahku. Setelah siap dengan semuanya, aku memasuki mobilku dan menjalankan mobilku menuju cafe.
            Tak butuh waktu lama untuk sampai di sana. Seperti biasa saat memasuki cafe pandangan semua laki-laki tertuju padaku. Aku pun memilih duduk di tempat faforitku yaitu di pinggir jendela. Karena aku bisa melihat orang yang berlalu-lalang sibuk dengan urusannya masing-masing.
            Ku alihkan pandanganku ke seluruh penjuru cafe saat ku lihat cowok kemarin yang menyebalkan duduk sendiri di tempat yang sama seperti kemarin. Ia tampak sibuk dengan pikirannya dan tak peduli banyak wanita yang memandangnya terpesona akan ketampanannya. Aku masih penasaran dengan apa arti cowok itu mengatakan aku gelap. Akhirnya aku menghampirinya.
            “Hey maaf ya tentang kemarin.” Kataku.
            “Mungkin kemarin gua lagi Bad mood jadi gitu ke lu.” Lanjutku saat ia tak bersuara.
            “Kayaknya gua yang harus minta maaf.” Katanya.
            “Dari pada ribut jadi kita sama-sama memaafkan.” Kataku dengan cengiran.
            Aku tak dapat membaca matanya karena terhalangi kaca mata yang di pakainya. Aku bertanya-tanya kenapa ia selalu memakai kaca mata hitam di dalam ruangan.
            “Eh tapi kenapa kemarin kamu bilang gue gelap sih?” Tanyaku penasaran saat tidak ada topik pembicaraan yang dapat ku angkat.
            Ia tampak tersenyum tipis sekali sampai-sampai seperti tidak tersenyum.
            “Gue sebenarnya tidak dapat melihat. Jadi gue bilang lo gelap.” Jawabnya yang membuatku bingung.
            “Gak bisa lihat? Maksudnya buta?” Tanyaku hati-hati.
            “Iya.” Jawabnya singkat.
            Aku terkejut mendengar ini. Muluktku menganga tak percaya. Tak kusangka kalau dia buta. Cowok seganteng dia? Bagaimana bisa? Tapi di balik rasa sedih yang kualami karena mengetahui bahwa dia buta, aku juga merasa senang karena ia tidak dapat melihat rupaku yang jelek ini. Jadi aku tidak perlu berdandan lama-lama agar tampil cantik karena dia tidak akan melihatnya.
            “Ya sudah kalau gitu aku temenin ya?” Pintaku.
            “It’s okay.”
            Akhirnya hari itu ku habiskan menemaninya di cafe. Sampai akhirnya hari sudah mulai sore dan ini waktunya untuk pulang.
            “Lo kesini naik apa?” Tanyaku.
            “Tadi kesini sama kakak gue. Tapi dia pulang duluan karena ada urusan.” Katanya. Oh jadi benar cewek kemarin itu kakakknya. Ada rasa senang saat mengetahui itu.
            “Terus pulangnya gimana?” tanyaku.
            “Naik taksi mungkin.” Jawabnya.
            “Gue anter ya!”
            “Gak usah gak papa.” Tolaknya.
            “Gak nerima penolakan.” Kataku langsung menuntunnya ke dalam mobilku.
            “Alamatnya dimana?” Tanyaku.
            Setelah ia menyebutkan alamatnya, ku jalankan mobilku menuju alamat itu. Sesampainya disana ku parkirkan mobilku dan membantunya turun. Ia mengambil kunci di kantongnya dan menyuruhku untuk membukakan pintu.
            “Sudah sampai disini saja.” Katanya. Aku pun melepaskan tanganku di lengannya.
            “Gue gak di suruh masuk?” Tanyaku.
            “Emangnya lo pengen masuk?” Tanyanya.
            “Ya gak papa kan.”
            “Ya sudah ayo masuk.”
            Aku pun memasuki rumahnya. Rumahnya minimalis tapi terlihat elegan. Ada dua lantai di sini. Aku mengikutinya ke ruang tamu. Ternyata dia sudah hafal tempatnya.
            “Kalau mau minum ambil sendiri.” Katanya.
            “Ok. Eh lo tinggal sendiri?” Tanyaku.
            “Iya. Orang tua gue dah meninggal. Jadi gue sendiri deh.” Jawabnya mengejutkanku.
            “Gak bosen sendirian?” Tanyaku lagi.
            “Awalnya sih bosen tapi sekarang dah enggak.”
            Sore hari itu pun ku habiskan untuk menemaninya sekedar mengobrol sampai larut malam dan aku pun pulang ke apartemenku.
***
            Sejak hari itu aku mulai sering mengunjungi rumahnya. Sampai aku bolos kuliah. Entahlah aku rasa aku mulai menyukainya. Dengannya aku bisa menjadi diriku sendiri tanpa menutup-nutupi diriku.
            Sampai suatu hari saat aku menemaninya jalan-jalan ia meyatakan perasaannya padaku. Aku sangat senang mendengarnya tak kusangka perasaaku terbalas. Aku pun mengucapkan hal yang sama padanya bahwa aku juga mencintainya. Aku mengubah gaya bicara kita menjadi aku-kamuHari itu diakhiri dengan menikmati terbenamnya matahari di pantai sebagai peresmian hubunganku dengannya.



***
            Hari ini seperti biasa aku akan jalan-jalan dengan Revan. Entahlah aku tak pernah bosan dengannya. Aku turun dari kasur dan mempersiapkan diri untuk pergi menemuinya. Ia tampak tampan dengan kaos polo yang dipakainya. Betapa aku sangat mensyukuri memilikinya di sampingku.
            “Sekarang kita mau kemana?” Tanyaku.
            “Sebelum kita jalan-jalan aku mau ngomomg sesuatu sama kamu.” Ucapnya yang membuatku penasaran setengah hidup.
            “Apa? Ayo katakan!” Pintaku bersemangat. Ia tersenyum mendengar semangatku ini.
            “Kak Sandy sudah menemukan pendonor mata yang cocok untukku.” Kata dengan senyuman. Berbanding terbalik denganku yang tiba-tiba senyumku memudar ketika mendengarnya. Aku tak tahu aku harus bahagia atau sedih. Aku bahagia dia dapat melihat dunia lagi. Tapi ada kekhawatiran di hatiku saat dia sudah dapat melihat dia akan meninggalkanku karena rupaku. Aku hanya menanggapinya biasa.
            “Wah bagus dong.” Kataku.
            “Aku pengen nanti yang aku lihat pertama kali itu kamu.” Hatiku menghangat saat ia mengatakn itu.
            Sepulang acara jalanku dengan Revan aku mengurung diriku di kamar. Merenung memikirkan tindakan apa yang harus aku lakukan. Aku tak mau Revan meninggalkanku. Aku mau dia tetap disisiku. Lebih baik aku yang meninggalkannya dari pada aku yang di tinggalkan. Akhirnya aku memutuskan sesuatu yamg mingkin akan menyakiti kita berdua.
            Ya aku harus meninggalkannya. Yakinku dalam hati.
***
            Hari ini hari dimana Revan operasi. Seharusnya aku berada di sampingnya. Melihat ia membuka matanya. Melihat ia yang akhirnya dapat melihat. Menjadi orang pertama yang di lihatnya. Tapi aku tak siap saat ia akan meninggalkanku ketika ia melihatku. Aku memilih menjadi pecundang mengurung diriku di kamar tampa ada secercah matahari yang memasuki kamarku.
 Aku bahkan tak tahu lebih tepatnya tidak peduli akan keadaanku. Aku tak bernafsu untuk memasukkan sesuatu ke mulutku. Yang ku lakukan hanya menangis tersedu di balik selimut ini sampai akhirnya aku tertidur.
***
            Hari ini aku sangat bahagia karena aku dapat melihat indahnya dunia lagi. Tapi kebahagian itu sirna ketika aku tak mendapati gadisku yang seharusnya ada di sampingku. Dia yang seharusnya ku lihat pertama kali. Tapi kenyataannya dia tak ada.
            Keesokan harinya aku pun pergi ke apartemennya. Aku tahu dia ada di dalam jadi aku tunggu dia membuka pintu untukku.
            “Saby buka pintunya!”
            “Apa yang kamu lakukan disini?”
            “Aku sedih saat mengetahui kamu tidak ada di sampingku. Aku tak peduli dengan rupamu jika itu yang kau takutkan.”
***
             Aku tak percaya ia ada di sini di depan pintu apartemenku. Aku terharu ia meluangkan waktu berharganya hanya untuk menemuiku. Aku tak berani membukakan pintu untukmnya meskipun ia sudah menyuruhku.
            Setelah berdebat antara hatiku dengan otakku . hati lah pemenangnya. Aku tak mau dia meninggalkanku. Akhirnya aku membukakan pintu untuknya. Ia langsung menubrukku memeluk badanku.
            “Jangan penah meninggalkanku Saby. Aku gak tahu kalau kamu tidak ada di sampingku. Aku gak tahu gimana hidupku tanpamu. Jadi jangan pernah pergi lagi dariku.”
            Aku semakin mengeratkan pelukanku padanya saat ia mengatakan hal itu. Ternyata aku salah menilainya. Kukira ia akan meninggalkanku saat melihatku. Tapi nyatanya tidak. Aku sangat bersyukur memilikinya.
            “I love you By.”
            “I love you too.”
TAMAT


Tidak ada komentar:

Posting Komentar